fhg

fhg

Kaidah Tarjih

Kaidah-kaidah Tarjih




Kaidah-kaidah Tarjih Diantara al-Aqwal dan al-Awjah
 
A.   Tarjih Diantara al-Aqwal
1.     Apabila menentang dua qaul (qadim dan jadid )
Apabila terjadi hal demikian maka yang diamalkan dengan pendapat jadid.
2.     Apabila menentang dua qaul ( jadid dan jadid )
Pada masalah ini terdapat suatu asas yang berpedoman oleh mufti diketikan terjadi pertentangan dua qaul, dan tidak boleh memilih salah satunya sesuka hati tanpa melakukan analisa dan ijtihad.Asas tersebut yaitu : 
a)   Mengamalkan dengan pendapat terakhir yang dikeluarkan oleh imam syafi’i. 
b) Apabila tidak diketahui yang terdahulu dan yang terakhir maka diamalkan dengan        pendapat yang dirajihkan (dikuatkan) oleh imam syafi’i . 

Ketentuan ini berlaku pada qaul jadid yang dikeluarkan oleh imam syafi’i di dua waktu yang bebeda,sebagaimana dikatakan oleh imam Nawawi dalam kitab Majmu’ nya.
قال النووي : ليس للمفتي ولا للعامل المنتسب الى مذهب الشافعي رحمه الله في مسألة القولين ....أن يعمل بما شاء منهما بغير نظر , بل عليه في القولين العمل بأخرهما  ان علمه , أو بالذي رجحه الشفعي . 
 [1] 
Adapun apabila pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i terjadi diwaktu yang sama dan beliau tidak merajihkannya, atau tidak diketahui apakah beliau mengemukannya diwaktu yang sama atau bukan dan tidak dirajihkannya, maka berkewajiban terhadap mufti sebagai berikut :
a)     Membahas (meneliti) tentang pendapat yang paling rajih diantara dua qaul, jika memiliki keahlian dalam mentarjih atau mentakhrijkan pendapat, namun jika tidak memiliki keahlian maka menukilkan pendapat yang telah dirajihkan oleh para ashab yang ahli dalam mentarjih dan mentakhrijkan pendapat imam Syafi’i.
b)    Bertawaquf (menghentikan). Hal ini dilakukan ketika tidak memungkinkan untuk mentarjihkan pendapat dengan cara apapun.
قال النووي : وان قالهما في حالة ولم يرجح واحدا منها ...., أو نقل عنه قولان ولم يعلم أقالهما في وقت واحد أو في وقتين وجهلنا السابق ,وجب البحث عن أرجحهما فيعمل به , فان كان أهلا للترجيح أو التخريج استقل به متعرفا ذلك من نصوص الشافعي ومأخذه وقواعده , فان لم يكن أهلا فلينقله عن أصحابنا الموصوفين بهذه الصفة , فان كتبهم موضحة لذلك فان لم يحصل له ترجيح بطريق يوقف حتى يحصل .  
[2]
B.   Tarjih Diantara al-Awjah. 
1.     Pendapat yang rajih (kuat) diantara al-awjah dapat diketahui dengan metode yang telah terdahulu  pada al-aqwal, akan tetapi tidak dipandang padanya dengan terdahulu dan tertakkhir kecuali jika terjadi wajh tersebut dari orang yang sama[3].
2.  Dirajihkan pendapat al-manshus (yang dinaskan) diatas pendapat al-mukharraj, kecuali tidak dijumpai perbedaan diantara keduanya.Maka jika salah satunya manshus dan yang lainnya mukharraj maka pendapat yang manshus adalah yang shahih yang diamalkan  pada kebiasaan[4].
3.     “Adanya nash yang menyatakan fasid muqabilnya”[5], yakni : pendapat yang rajih dari al-awjah dapat diketahui dengan adanya nash yang menyatakan fasid wajh yang lain,maka wajh yang pertamalah yang shahih.
4.     “Terasingnya wajh pada satu tempat atau  pada menjawab”[6], yakni :apabila diterasingkan satu wajh pada persoalan  yang khusus, atau pada menjawab persoalan yang khusus maka pendapat tersebutlah yang diamalkan pada demikian persoalan, karena pendapat tersebut terkhusus kepadanya.
5.   Meng-iktibarkan pendapat yang dishahihkan oleh ulama yang sangat alim,sesudah itu ulama yang paling wara’[7].
6.   Meng-iktibar sifat-sifat ulama yang menukil bagi qaulain dan wajhain ,yakni :seorang mufti apabila tidak mendapatkan tarjih dari seorangpun,maka diiktibarkan sifat-sifat orang yang menukil bagi qaulain atau yang mengatakan  wajhain.Makamenurut  ashhab syafi’i pendapat yang  diriwayatkan oleh al-Buwaithi dan al-Rabi’ al-Muradi dan al-Muzani adalah yang didahulukan diatas pendapat yang diriwayatkan oleh al-Rabi’ al-Jaizi dan Harmalah[8].
7. Pendapat yang sesuai dengan kebanyakan imam mazhab.Maka apabila terdapat kesesuaian salah satu dari dua wajh dengan pendapat kebanyakan imam mazhab maka rajihlah wajh yang sesuai dengan pendapat kebanyakan ulama. AL-Qadhi Husen menghikayah dua wajh bagi ashab tentang : “apabila imam Syafi’i mengemukakan dua pendapat yang salah satunya sesuai dengan pendapat Abi Hanifah, yaitu: 

1) Bahwasanya qaul yang mukhalif (berbeda) lebih utama.Pendapat ini dikemukakan oleh Abi Hamid al-Ashfiraini[9], karena imam Syafi’i berbeda pendapat dengan imam Hanifah karena beliau menjumpai sesuatu yang menghendaki untuk mukhalafah. 

2)   Qaul yang muwafiq (sesuai) lebih utama.Pendapat ini dikemukakan oleh al-Qaffal dan merupakn pendapat yang paling ashah[10]. 
  Uraian tersebut ditakdirkan pada perkara yang tidak dijumpai murajjih sebelumnya. 
Ditulis oleh Tgk.Iswandi ,santri dayah Raudhatul Ma'arif Al-Aziziyzh,Cot Trueng ,Muara Batu,Aceh Utara.

[1] Al-Majmu’ Syarah Muhazzab juz 1 hal 68.
[2] Al-Majmu’ Syarah Muhazzab juz 1 hal 68.
[3] Al-majmu’ Syarah Muhazzab juz 1 hal 68.
[4] Al-manshus berbeda dengan al-nash,karena al-manshus diithlaq(dipakai) diatas al-nash dan diatas al-qaul dan al-wajh, sedangkan al-nash cuma dipakai untuk al-aqwal imam Syafi’i. Sumber: kitab al-ibtihaj fi ishtilahi al-minhaj hal 14.
[5] Hasyiah Qulyubi wa ‘Umairah  juz 1 hal 18, al-Majmuj Syarah Muhazzab juz 1 hal 69.
[6] Al-majmu’ Syarah Muhazzab juz 1 hal 69.
[7]Al-Majmu’ Syarah Muhazzab juz 1 hal 68.                    
[8] Al-Majmu’ Syarah Muhazzab juz 1 hal 68.
[9] Al-Ashfiraini adalah :Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Ashfiraini dan beliau bekuniah sebagai Abu Hamid,dan diwafatkan pada tahun 406 H.
[10] Al-Majmu’ Syarah Muhazzab juz 1 hal 68.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.